KIRANA
Aku bosan membicarakan
kehilangan. Juga tentang payung yang bersikeras mendekap tubuhku dan merelakan
punggungnya basah dialiri hujan. Terakhir, aku mulai membenci sugesti yang
selalu datang berdampingan dengan bait-bait lagu, tidak lupa sertakan puisi
pada daftar juga.
Busungkan dada, letakan
kaki pada tanah terlapang dimana lengkung pelangi bisa kau tatap dengan jelas.
Sudah jelas resah tanpa alasan itu adalah hal bodoh.
Kirana, mungkin aku jenis manusia yang lebih banyak melakukan
monolog yang hanya dapat didengar diriku sendiri ketimbang dialog dan saling
bertukar suara.
Ladang mellow jadi julukan yang aku sandang selama beberapa
tahun ini. Sangat bertolak belakang dengan otak dan tingkahku yang terasa belum
genap juga luar biasa absurd, itu sih kata Sena.
“hidup kamu sama rumitnya kaya baca partitur”
“yang aku tau partitur isinya toge yang nyantol di tali
jemuran”
“lagi berusaha bikin analogi ya”
“jangan bercanda, aku lagi enek”
“minta dipeluk?”
“arghhh, minggir”
Sena, teman terpaling, berteman sejak SMA, tidak ada bedanya
dengan anggrek yang nemplok dibadan pohon begitulah gambaran yang cocok untuk
menjelaskan sosok Sena. Humble, postur tubuh tinggi, kulit kuning, alis tebal,
hidung mancung dan bibir tipis tidak heran Sena digandrungi banyak wanita.
“jangan enak-enak ya mainnya bisa-bisa aku jatuh cinta”
“kayanya barusan ada yang ngomong betapa ngenekinya gue”
“ah si ganteng”
“busuukk, aku jamin semua perempuan disini bakal pada minta
dinikahin, bye”
Sena beranjak dari kursi tingginya. Aku terperangah dan mulai
menertawai sesuatu hal.
“hahaha yang bener aja sen”
“jelaslah ketampanan sena akan membuat wanita takluk dalam
sekejap”
“bukan itu”
“apa”
“noh di gigi ada cabenya”
“sialan”
Aku kembali lagi ke cafe yang sama untuk menunaikan lamunan
yang belum juga terselesaikan malam lalu. Dipojok terduduk sendiri mengamati seorang
penyanyi wanita diiringi musik akustik mengisi udara dengan beberapa lagu.
Hanyut, rasa sakit tiba-tiba menderu, kenangan dan sosok entah siapa melintas
dalam kelebatan dan sesuatu yang tidak kukenal mengisi rongga dada.
“door, jadi kamu bohong katanya nggak enak badan”
“kok disini?”
“aku emang ada urusan sama temenku, noh orangnya”
“kirain mbuntutin hehe”
“haha hehe haha hehe, jadi kenapa bohong?”
“aku nggak bohong nih anget nih jidatku nih”
“begoooo tau sakit malah nongkrong disini pulaaang!”
“galak amat, aku pingin coklat panas dirumah abis mamah
pergi”
“alesan aja kenapa nggak bbm?”
“nih nih paketan abis nggak ada pulsa”
“dasar beg”
“Senaaa!” Aku dan Sena saling mencari arah suara. Pencarian
kita berhenti pada sosok pria jangkung yang segera beranjak dari kajon kemudian
sedang turun dari panggung dan menghampiri mejaku.
“Mo, Bimo baru sampe ya?”
“Iya nih, bawa kan barangnya?”
“Ada di tas, abis ini aku ambil. Nggak keburu-buru pulang
kan?”
“tadinya sih nggak keburu-buru tapi sekarang jadi
keburu-buru, mau nganter dia nih”. Sena menepuk bahuku, Bimo mulai mengamatiku
lekat-lekat, sama denganku.
“ini pacarmu? Kayaknya tadi kalian nggak dateng barengan ya?”
“bukan dia temenku dari SMA sampe sekarang”
“oh pantesan, aku bimo”. Bimo menyodorkan tangannya.
“emm aku Kirana, rana”. Aku menyambut tangannya yang halus,
kenapa tangannya halus aku jadi minder.
“kalo gitu aku ambil dulu barangnya tunggu ya”
“nih sen, aku duluan ya mau ketemu temen”
“iya bim thanks a lot jude”
“nyantaaii”
“jadi capek-capek kesini cuma mau ngambil pic doang? Dasar
pengangguran”
“jangan kebanyakan bacot, ayok balik”
“nggak bawa helm”
“gampang lewat jalan tikus”
SENA
Setelah menaruh helm dimotor sekenanya aku berjalan santai
kearah pintu masuk café. Aku mengamati seluruh penjuru dan menangkap seorang
wanita dengan rambut dikuncir seadanya diselimuti sweater hijau lumut celana
jeans hitam tengah terduduk melamun. Astaga, Kirana, aku menepuk jidatku
sendiri dan bergegas menghampiri.
“door, jadi kamu bohong katanya nggak enak badan” aku
mengagetkannya
“kok disini?” jadi kirana ngrasa ketangkep basah
“aku emang ada urusan sama temenku, noh orangnya”
“kirain mbuntutin hehe”
“haha hehe haha hehe, jadi kenapa bohong?”
“aku nggak bohong nih anget nih jidatku nih”. Dengan kilat
aku sudah mencapai jidatnya untuk memeriksa. Temen wanita paling bego, tau
sakit nekad main.
“begoooo tau sakit malah nongkrong disini, pulaaang!”
“galak amat, aku pingin coklat panas dirumah abis mamah
pergi”
“alesan aja kenapa nggak bbm?”
“nih nih paketan abis nggak ada pulsa”
“dasar beg”
“Senaaa!” Itu suara yang aku cari. Bimo, temenku dari SMP,
sempet jadi satu band pas SMP. Bimo anaknya orang tajir, ayahnya seorang kepala
cabang di salah satu perusahaan makanan di Jakarta. Sempet ngilang karena beda
SMA, tapi setelah lulus papasan di ujian masuk universitas.
“Mo, Bimo baru sampe ya?”
“Iya nih, bawa kan barangnya?”
“Ada di tas, abis ini aku ambil. Nggak keburu-buru pulang
kan?”
“tadinya sih nggak keburu-buru tapi sekarang jadi
keburu-buru, mau nganter dia nih”.Bimo mulai mengamati Kirana dari ujung kaki
hingga ujung rambut.
“ini pacarmu? Kayaknya tadi kalian nggak dateng barengan ya?”
“bukan dia temenku dari SMA sampe sekarang”
“oh pantesan, aku bimo”. Bimo menyodorkan tangannya.
“emm aku Kirana, rana”. Aku mulai menyenggol tangan Kirana
yang sedari tadi bengong untuk menyambut tangan Bimo.
“kalo gitu aku ambil dulu barangnya tunggu ya”
“nih sen, aku duluan ya mau ketemu temen”
“iya bim thanks a lot jude”
“nyantaaii”
“jadi capek-capek kesini cuma mau ngambil pic doang? Dasar
pengangguran”
“jangan kebanyakan bacot, ayok balik”
“nggak bawa helm”
“gampang lewat jalan tikus”
Sesampainya di rumah Kirana, aku langsung menyeretnya kedalam
rumah dan mendudukannya di sofa ruang tengah. Celah rumah Kirana sudah sangat
aku hafal bahkan aku sampai tu tempat dimana biasa sikat gigi baru disimpan,
nampan, sampai cetakan pudding. Ibu kirana, Yuni sudah menganggapku anak
sendiri hampir setiap hari aku menghabiskan waktu dirumah Kirana seringkali
membantu Ibu Yuni memasak, dan menemaninya menonton tv.
“malah bengong, ambilin kompres sama bikinin teh anget kek”.
Aku baru saja melamun.
“kedengarannya seperti kalimat perintah”. Seringaiku
“nggak liat ya aku lagi sakit”.
part 1