Random blogger

Random blogger

Senin, 30 Mei 2016

Kirana - Novel by Diana Kartika


KIRANA
Aku bosan membicarakan kehilangan. Juga tentang payung yang bersikeras mendekap tubuhku dan merelakan punggungnya basah dialiri hujan. Terakhir, aku mulai membenci sugesti yang selalu datang berdampingan dengan bait-bait lagu, tidak lupa sertakan puisi pada daftar juga.
Busungkan dada, letakan kaki pada tanah terlapang dimana lengkung pelangi bisa kau tatap dengan jelas. Sudah jelas resah tanpa alasan itu adalah hal bodoh.
Kirana, mungkin aku jenis manusia yang lebih banyak melakukan monolog yang hanya dapat didengar diriku sendiri ketimbang dialog dan saling bertukar suara.
Ladang mellow jadi julukan yang aku sandang selama beberapa tahun ini. Sangat bertolak belakang dengan otak dan tingkahku yang terasa belum genap juga luar biasa absurd, itu sih kata Sena.
“hidup kamu sama rumitnya kaya baca partitur”
“yang aku tau partitur isinya toge yang nyantol di tali jemuran”
“lagi berusaha bikin analogi ya”
“jangan bercanda, aku lagi enek”
“minta dipeluk?”
“arghhh, minggir”
Sena, teman terpaling, berteman sejak SMA, tidak ada bedanya dengan anggrek yang nemplok dibadan pohon begitulah gambaran yang cocok untuk menjelaskan sosok Sena. Humble, postur tubuh tinggi, kulit kuning, alis tebal, hidung mancung dan bibir tipis tidak heran Sena digandrungi banyak wanita.
“jangan enak-enak ya mainnya bisa-bisa aku jatuh cinta”
“kayanya barusan ada yang ngomong betapa ngenekinya gue”
“ah si ganteng”
“busuukk, aku jamin semua perempuan disini bakal pada minta dinikahin, bye”
Sena beranjak dari kursi tingginya. Aku terperangah dan mulai menertawai sesuatu hal.
“hahaha yang bener aja sen”
“jelaslah ketampanan sena akan membuat wanita takluk dalam sekejap”
“bukan itu”
“apa”
“noh di gigi ada cabenya”
“sialan”
Aku kembali lagi ke cafe yang sama untuk menunaikan lamunan yang belum juga terselesaikan malam lalu. Dipojok terduduk sendiri mengamati seorang penyanyi wanita diiringi musik akustik mengisi udara dengan beberapa lagu. Hanyut, rasa sakit tiba-tiba menderu, kenangan dan sosok entah siapa melintas dalam kelebatan dan sesuatu yang tidak kukenal mengisi rongga dada.
“door, jadi kamu bohong katanya nggak enak badan”
“kok disini?”
“aku emang ada urusan sama temenku, noh orangnya”
“kirain mbuntutin hehe”
“haha hehe haha hehe, jadi kenapa bohong?”
“aku nggak bohong nih anget nih jidatku nih”
“begoooo tau sakit malah nongkrong disini pulaaang!”
“galak amat, aku pingin coklat panas dirumah abis mamah pergi”
“alesan aja kenapa nggak bbm?”
“nih nih paketan abis nggak ada pulsa”
“dasar beg”
“Senaaa!” Aku dan Sena saling mencari arah suara. Pencarian kita berhenti pada sosok pria jangkung yang segera beranjak dari kajon kemudian sedang turun dari panggung dan menghampiri mejaku.
“Mo, Bimo baru sampe ya?”
“Iya nih, bawa kan barangnya?”
“Ada di tas, abis ini aku ambil. Nggak keburu-buru pulang kan?”
“tadinya sih nggak keburu-buru tapi sekarang jadi keburu-buru, mau nganter dia nih”. Sena menepuk bahuku, Bimo mulai mengamatiku lekat-lekat, sama denganku.
“ini pacarmu? Kayaknya tadi kalian nggak dateng barengan ya?”
“bukan dia temenku dari SMA sampe sekarang”
“oh pantesan, aku bimo”. Bimo menyodorkan tangannya.
“emm aku Kirana, rana”. Aku menyambut tangannya yang halus, kenapa tangannya halus aku jadi minder.
“kalo gitu aku ambil dulu barangnya tunggu ya”
“nih sen, aku duluan ya mau ketemu temen”
“iya bim thanks a lot jude”
“nyantaaii”
“jadi capek-capek kesini cuma mau ngambil pic doang? Dasar pengangguran”
“jangan kebanyakan bacot, ayok balik”
“nggak bawa helm”
“gampang lewat jalan tikus”

SENA
Setelah menaruh helm dimotor sekenanya aku berjalan santai kearah pintu masuk café. Aku mengamati seluruh penjuru dan menangkap seorang wanita dengan rambut dikuncir seadanya diselimuti sweater hijau lumut celana jeans hitam tengah terduduk melamun. Astaga, Kirana, aku menepuk jidatku sendiri dan bergegas menghampiri.
“door, jadi kamu bohong katanya nggak enak badan” aku mengagetkannya
“kok disini?” jadi kirana ngrasa ketangkep basah
“aku emang ada urusan sama temenku, noh orangnya”
“kirain mbuntutin hehe”
“haha hehe haha hehe, jadi kenapa bohong?”
“aku nggak bohong nih anget nih jidatku nih”. Dengan kilat aku sudah mencapai jidatnya untuk memeriksa. Temen wanita paling bego, tau sakit nekad main.
“begoooo tau sakit malah nongkrong disini, pulaaang!”
“galak amat, aku pingin coklat panas dirumah abis mamah pergi”
“alesan aja kenapa nggak bbm?”
“nih nih paketan abis nggak ada pulsa”
“dasar beg”
“Senaaa!” Itu suara yang aku cari. Bimo, temenku dari SMP, sempet jadi satu band pas SMP. Bimo anaknya orang tajir, ayahnya seorang kepala cabang di salah satu perusahaan makanan di Jakarta. Sempet ngilang karena beda SMA, tapi setelah lulus papasan di ujian masuk universitas.
“Mo, Bimo baru sampe ya?”
“Iya nih, bawa kan barangnya?”
“Ada di tas, abis ini aku ambil. Nggak keburu-buru pulang kan?”
“tadinya sih nggak keburu-buru tapi sekarang jadi keburu-buru, mau nganter dia nih”.Bimo mulai mengamati Kirana dari ujung kaki hingga ujung rambut.
“ini pacarmu? Kayaknya tadi kalian nggak dateng barengan ya?”
“bukan dia temenku dari SMA sampe sekarang”
“oh pantesan, aku bimo”. Bimo menyodorkan tangannya.
“emm aku Kirana, rana”. Aku mulai menyenggol tangan Kirana yang sedari tadi bengong untuk menyambut tangan Bimo.
“kalo gitu aku ambil dulu barangnya tunggu ya”
“nih sen, aku duluan ya mau ketemu temen”
“iya bim thanks a lot jude”
“nyantaaii”
“jadi capek-capek kesini cuma mau ngambil pic doang? Dasar pengangguran”
“jangan kebanyakan bacot, ayok balik”
“nggak bawa helm”
“gampang lewat jalan tikus”
Sesampainya di rumah Kirana, aku langsung menyeretnya kedalam rumah dan mendudukannya di sofa ruang tengah. Celah rumah Kirana sudah sangat aku hafal bahkan aku sampai tu tempat dimana biasa sikat gigi baru disimpan, nampan, sampai cetakan pudding. Ibu kirana, Yuni sudah menganggapku anak sendiri hampir setiap hari aku menghabiskan waktu dirumah Kirana seringkali membantu Ibu Yuni memasak, dan menemaninya menonton tv.   
“malah bengong, ambilin kompres sama bikinin teh anget kek”. Aku baru saja melamun.
“kedengarannya seperti kalimat perintah”. Seringaiku
“nggak liat ya aku lagi sakit”. 
part 1

kursi

dibawah payung besar beserta kursi kursi kosong
mengetik 7 kali dan menghapusnya 7 kali
pensilku patah rautanku hilang
mengeja namamu dengan volume sekecil-kecilnya
menertawakan diri sendiri
mengumpat sebanyak-banyaknya

Kamis, 28 April 2016

REVIEW CARING COLOURS STAY TRUE FOUNDATION NO 3 NATURAL GLOW


Hallo semuaaa! Hari ini gue mau mereview product dari brand lokal yang udah nggak asing lagi ye. Apa coba tebak? Emm bener Caring Colours Stay True Foundation yeaaayyyy! (girang).
Udah oke belum sih prolog gue? ala ala beauty blogger gitu haha. Sebenernya ini kali pertamanya gue nulis review makeup loh. Sebagai murid baru harusnya gue kena ospek kaka kelas atau mungkin harusnya gue berangkat ngeblog mestinya dianterin emak gue sampe gerbang kali ye? Lol
Apaaaaaaaaa!!! Lo yang sebelah sana berani ngata-ngatain gue wagu ngomong gue-gue? Lo juga yang ditribun sana beraninya bilang “nek ngapak ya ngapak bae” hellooow blog gue ini kan dibaca orang seluruh Indonesia mana pada ngerti kalo gue ngomong pake bahasa pribumaaay. Yawis siki nyong garep njajal review produk lokal Indonesia ya mbak kang yung ma, mesti rika kabeh wis pada ngerti wis tau krungu mestine ya wis ana sing tau tuku.
Hey apa nggak mudeng? Tuh kan nyong miki wis ngomong apa pancene harusnya pake bahasa nasional koh ya biar semua orang tau ya mbok?
Hentikan kegilaan ini! okaaayyy J
Ladiesss, ada yang pernah nyobain foundi ini nggak sih? Ini foundi bukan sembarang foundi loh. Murah dan worth it lah buat kalangan mahasiswa yang jarang duitnya tapi pengen coba-coba. Gue beli ini di toko Mutiara cuma dengan harga nggak nyampe 70ribu pokoknya plus diskon jadi 60ribuan sekian lupa deh. Isinya juga mayan banyak 30ml kalo buat gue ini ntah kapan abisnya. Aromanya kaya bedak jadul dan awet duuuhhhh~ Yang jelas beli ini foundie mah dimana-mana ada gampang dicari nggak kaya kamu haha.
Penampakan
       




                                                        
Botolnya terbuat dari kaca yang lumayan berat dipegang dan sangat sangat nggak travel friendly bray plus menuh-menuhin kotak makeup. Berita baiknya tutupnya pump gitu ihiiiir kejamin higienis ya. Tutupnya juga bisa ngunci kalo digeser jadi aman nggak bakal tumpah yehuuuy.
Tekstur

 
Teksturnya lumayan thick tapi nggak terlalu thick sedeng deh. Walopun thick tapi gampang diblend dan ternyata foundie ini cepet mongering jadi kudu cepet-cepet.
Shade
Shade caring ini ada 4, karena gue nggak yakin sama pilihan saya sendiri akhirnya gue pasrah minta dipilihin BA nya dikasihlah natural glow no 3. Pas gue coba dirumah ya lumayan masuk sih tone kuning gitu. Cocok buat kulit Indonesia.
Coverage









Coverage foundi ini termasuk medium. Emang sih sekali layer jerawat gue belum bisa ketutup dengan sempurna juga kantong mata gue tetep sama alias nggak ngefek tapi lumayan deh bisa ngeratain warna kulit gue ya dan hasilnya lumayan glowy jatohnya dewy look gitu natural sis. Dan ketika gue gemes covernya kurang nampol gue layer lagi deh dan ternyata rada cakey duh.
Daya tahan
Daya tahannya sih lumayan gue pake tanpa primer dari pagi sampe siang belum geser. Oil controlnya parah deh minyaknya bisa buat ngegoreng tempe sama emak gue. Foundi ini di gue oxidice pernah make dari pagi sorenya kucel L
 
Kesimpulan
Pros:
+ medium coverage
+ gampang diblend
+ hasilnya glowy dewy look
+ ringan cocok untuk daily
+ kemasan higienis
+ very cheap
Cons:
- oxidasi kalo di gue
- nggak demen sama baunya
- oil controlnya kurang oke
- botol kacanya not travelfriendly

Minggu, 21 Februari 2016

Kala - Seperti Cerpen



Akulah kala, aku menjajal semua hal yang aku bisa bak omnivora. Aku mencoba melantunkan nada dengan malu-malu, kusambangi puluhan acara musik dan menikmatinya layaknya haus air di siang bolong. Kelemahanku dalam konsentrasi sama sekali tak perah sembuh, mencoba berkali-kali aku tetap tak mampu memainkan alat musik. Aku bersikeras mengisi instrument dengan nada yang kuambil ragu-ragu dari pita suara.
Tak satupun orang melihatku.
Mulai menyerah, aku mengambil pensil dan alat gambar. Aku punya selera yang bagus dalam berpakaian dan mengamati fashion, ku ambil pensil dan mengaitkan serupa garis lurus, berbelok, membulat, mengarsir. Percuma saja aku tak bisa menjahit.
Belum ada satupun orang yang melirikku.
Aku berpindah dengan cepat dan segera mengambil alat dapur segala macam wajan, pisau, sayur aku tarik dari tempatnya secara brutal. Mulai aku mengupas segala bahan mentah, mencuci, menyalakan kompor, mencampur segala bahan didalamnya dengan bumbu yang telah aku racik kemudian mencicipi serupa juru masak di restoran-restoran, rasanya tidak kalah dengan masakan juru masak. Dihari selanjutnya aku memasak lagi dengan menu yang berbeda, dengan bahan yang lebih banyak dan bumbu yang asing dan jarang dipakai orang awan aku melihatnya di buku resep, aku mulai memasak dan mencicipi di langkah terakhir, rasanya aneh.
Tak ada orang lagi.
Segera kutarik paksa tas kecilku dan kukalungkan menyelempang, kuambil cepat kunci motor menyalakannya dan mengendarainya dengan kecepatan tinggi. Langit mulai menghitam kupacu motor segila-gilanya. Sesampainya di toko aksesoris aku turun, memilih dengan cepat manik-manik, bebatuan warna, tali segera ku bawa pulang dan kujalin manik-manik menuruni benang, kuatur warnanya, kutata besar kecilnya diujung benang yang penuh kupilin sehingga tali terikat. Ku perhatikan serupa gelang manik-manik yang cantik, kuputar-putar dibawah terang lampu belajar yang bungkuk. Kupasangkan lewat telapak tangan menuju pergelangan, dipertengahan perjalanan gelang manik-manik putus mencuat terlempar hingga sudut-sudut dinding dan sisanya berlari dibawah kolong almari. Aku menatap manik-manik dibawah kolong nanar, kosong. Tawaku mengisi ruangan didetik kemudian berganti dengan tangis yang menyendu. Hatiku mencelos, dadaku sesak, kakiku lemas lututku mulai terjun ke dasar lantai tanganku menahan berat tubuhku diantara dinding yang lusuh catnya. Kuputar posisiku dengan duduk memunggungi dinding menyandar padanya menekuk lutut dan memeluknya serasa menggerakan kepala kearah cermin.
Disana ada seorang anak perempuan berbaju olehraga menangis menderu dibawah pohon mangga sembari memegang hasil ulangan matematika dengan nilai lima.
Langit hanya memamerkan semburat-semburat jingga. Anak perempuan dengan rambut dikepang satu menunggu sekolah menyepi, diambilnya bola basket yang disembunyikannya selepas pelajaran diakhiri. Keringat membanjiri seluruh tubuh kecilnya tak satupun bola telah masuk ring. Dan tinta merah tak kunjung berubah menjadi hitam untuk ditunjukkannya kepada teman-temannya. Hidupnya kini mati dari pujian, dipandang sebelah mata dan dicap tak bisa apa-apa. Sampah.
Aku mulai menyeka air mata, menyeret kaki menuju letak meja komputer menghidupkan dan menulis lagi cerita-cerita sedih untuk dijual.