Akulah kala, aku menjajal semua
hal yang aku bisa bak omnivora. Aku mencoba melantunkan nada dengan malu-malu,
kusambangi puluhan acara musik dan menikmatinya layaknya haus air di siang
bolong. Kelemahanku dalam konsentrasi sama sekali tak perah sembuh, mencoba
berkali-kali aku tetap tak mampu memainkan alat musik. Aku bersikeras mengisi
instrument dengan nada yang kuambil ragu-ragu dari pita suara.
Tak satupun orang melihatku.
Mulai menyerah, aku mengambil
pensil dan alat gambar. Aku punya selera yang bagus dalam berpakaian dan
mengamati fashion, ku ambil pensil dan mengaitkan serupa garis lurus, berbelok,
membulat, mengarsir. Percuma saja aku tak bisa menjahit.
Belum ada satupun orang yang
melirikku.
Aku berpindah dengan cepat dan
segera mengambil alat dapur segala macam wajan, pisau, sayur aku tarik dari
tempatnya secara brutal. Mulai aku mengupas segala bahan mentah, mencuci,
menyalakan kompor, mencampur segala bahan didalamnya dengan bumbu yang telah
aku racik kemudian mencicipi serupa juru masak di restoran-restoran, rasanya
tidak kalah dengan masakan juru masak. Dihari selanjutnya aku memasak lagi
dengan menu yang berbeda, dengan bahan yang lebih banyak dan bumbu yang asing
dan jarang dipakai orang awan aku melihatnya di buku resep, aku mulai memasak
dan mencicipi di langkah terakhir, rasanya aneh.
Tak ada orang lagi.
Segera kutarik paksa tas kecilku
dan kukalungkan menyelempang, kuambil cepat kunci motor menyalakannya dan
mengendarainya dengan kecepatan tinggi. Langit mulai menghitam kupacu motor
segila-gilanya. Sesampainya di toko aksesoris aku turun, memilih dengan cepat
manik-manik, bebatuan warna, tali segera ku bawa pulang dan kujalin manik-manik
menuruni benang, kuatur warnanya, kutata besar kecilnya diujung benang yang
penuh kupilin sehingga tali terikat. Ku perhatikan serupa gelang manik-manik
yang cantik, kuputar-putar dibawah terang lampu belajar yang bungkuk.
Kupasangkan lewat telapak tangan menuju pergelangan, dipertengahan perjalanan
gelang manik-manik putus mencuat terlempar hingga sudut-sudut dinding dan
sisanya berlari dibawah kolong almari. Aku menatap manik-manik dibawah kolong
nanar, kosong. Tawaku mengisi ruangan didetik kemudian berganti dengan tangis yang
menyendu. Hatiku mencelos, dadaku sesak, kakiku lemas lututku mulai terjun ke
dasar lantai tanganku menahan berat tubuhku diantara dinding yang lusuh catnya.
Kuputar posisiku dengan duduk memunggungi dinding menyandar padanya menekuk
lutut dan memeluknya serasa menggerakan kepala kearah cermin.
Disana ada seorang anak perempuan
berbaju olehraga menangis menderu dibawah pohon mangga sembari memegang hasil
ulangan matematika dengan nilai lima.
Langit hanya memamerkan
semburat-semburat jingga. Anak perempuan dengan rambut dikepang satu menunggu
sekolah menyepi, diambilnya bola basket yang disembunyikannya selepas pelajaran
diakhiri. Keringat membanjiri seluruh tubuh kecilnya tak satupun bola telah
masuk ring. Dan tinta merah tak kunjung berubah menjadi hitam untuk
ditunjukkannya kepada teman-temannya. Hidupnya kini mati dari pujian, dipandang
sebelah mata dan dicap tak bisa apa-apa. Sampah.
Aku mulai menyeka air mata,
menyeret kaki menuju letak meja komputer menghidupkan dan menulis lagi
cerita-cerita sedih untuk dijual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar