Random blogger

Random blogger

Minggu, 21 Februari 2016

Kala - Seperti Cerpen



Akulah kala, aku menjajal semua hal yang aku bisa bak omnivora. Aku mencoba melantunkan nada dengan malu-malu, kusambangi puluhan acara musik dan menikmatinya layaknya haus air di siang bolong. Kelemahanku dalam konsentrasi sama sekali tak perah sembuh, mencoba berkali-kali aku tetap tak mampu memainkan alat musik. Aku bersikeras mengisi instrument dengan nada yang kuambil ragu-ragu dari pita suara.
Tak satupun orang melihatku.
Mulai menyerah, aku mengambil pensil dan alat gambar. Aku punya selera yang bagus dalam berpakaian dan mengamati fashion, ku ambil pensil dan mengaitkan serupa garis lurus, berbelok, membulat, mengarsir. Percuma saja aku tak bisa menjahit.
Belum ada satupun orang yang melirikku.
Aku berpindah dengan cepat dan segera mengambil alat dapur segala macam wajan, pisau, sayur aku tarik dari tempatnya secara brutal. Mulai aku mengupas segala bahan mentah, mencuci, menyalakan kompor, mencampur segala bahan didalamnya dengan bumbu yang telah aku racik kemudian mencicipi serupa juru masak di restoran-restoran, rasanya tidak kalah dengan masakan juru masak. Dihari selanjutnya aku memasak lagi dengan menu yang berbeda, dengan bahan yang lebih banyak dan bumbu yang asing dan jarang dipakai orang awan aku melihatnya di buku resep, aku mulai memasak dan mencicipi di langkah terakhir, rasanya aneh.
Tak ada orang lagi.
Segera kutarik paksa tas kecilku dan kukalungkan menyelempang, kuambil cepat kunci motor menyalakannya dan mengendarainya dengan kecepatan tinggi. Langit mulai menghitam kupacu motor segila-gilanya. Sesampainya di toko aksesoris aku turun, memilih dengan cepat manik-manik, bebatuan warna, tali segera ku bawa pulang dan kujalin manik-manik menuruni benang, kuatur warnanya, kutata besar kecilnya diujung benang yang penuh kupilin sehingga tali terikat. Ku perhatikan serupa gelang manik-manik yang cantik, kuputar-putar dibawah terang lampu belajar yang bungkuk. Kupasangkan lewat telapak tangan menuju pergelangan, dipertengahan perjalanan gelang manik-manik putus mencuat terlempar hingga sudut-sudut dinding dan sisanya berlari dibawah kolong almari. Aku menatap manik-manik dibawah kolong nanar, kosong. Tawaku mengisi ruangan didetik kemudian berganti dengan tangis yang menyendu. Hatiku mencelos, dadaku sesak, kakiku lemas lututku mulai terjun ke dasar lantai tanganku menahan berat tubuhku diantara dinding yang lusuh catnya. Kuputar posisiku dengan duduk memunggungi dinding menyandar padanya menekuk lutut dan memeluknya serasa menggerakan kepala kearah cermin.
Disana ada seorang anak perempuan berbaju olehraga menangis menderu dibawah pohon mangga sembari memegang hasil ulangan matematika dengan nilai lima.
Langit hanya memamerkan semburat-semburat jingga. Anak perempuan dengan rambut dikepang satu menunggu sekolah menyepi, diambilnya bola basket yang disembunyikannya selepas pelajaran diakhiri. Keringat membanjiri seluruh tubuh kecilnya tak satupun bola telah masuk ring. Dan tinta merah tak kunjung berubah menjadi hitam untuk ditunjukkannya kepada teman-temannya. Hidupnya kini mati dari pujian, dipandang sebelah mata dan dicap tak bisa apa-apa. Sampah.
Aku mulai menyeka air mata, menyeret kaki menuju letak meja komputer menghidupkan dan menulis lagi cerita-cerita sedih untuk dijual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar